Kalau cinta memang hanya sebuah kontrak…

Kalau cinta memang hanya sebuah kontrak, maka mungkin aku harus bertanya pada siang itu, saat sebuah tangan menggenggam tanganku. Tanganmu. Memang, memang bukan untuk apa-apa. Hanya untuk dijabat.

Dan kau tersenyum…

Kita bicara soal cinta. Memang bukan berdua. Banyak. Ketika aku di sana dan menjadi sebuah bilangan, menatap setiap orang yang bertutur, membicarakan satu hal. Cinta. Lalu mengapa saat itu hanya aku yang terdiam?

Entahlah… ada yang terasa menyekat dan mencegahku untuk membicarakan sesuatu yang ingin kubagi berdua saja. Denganmu, yang tak pernah mempunyai kontrak apapun. Denganku, yang siang itu masih menjadi sebuah bilangan.

Hari itu siang. Memang tak terik. Tapi mengapa aku malah teringat malam? Sebuah malam, yang kuingat itu adalah hari Senin. Ya, pikiranku malah melayang ke sana. Ke dua malam sebelum ulang tahunmu, dan aku yang sedang berada di sebuah ruangan. Gelap, sambil meraba roll film yang tak bisa disentuh oleh cahaya. Ia tak bersinar, apalagi berwarna. Tak pernah berujar, tapi selalu berbicara tentang sesuatu. Tak menjanjikan keindahan, namun di dalamnya tersimpan sebuah kenangan…

Aku merabanya dengan sangat hati-hati, takut kalau cahaya akan membakar sesuatu yang berada di dalamnya. Seperti seorang bayi kecil yang begitu akan kulindungi, bukan karena jasadnya yang rapuh. Tapi karena dalam kerapuhannya itu, ada sesuatu yang ingin kulindungi. Sebuah cinta. Jikalau cinta itu memang bukan sebuah kontrak…

Karena dalam gulungan itu, yang kini menjadi deretan panjang roll film, ada wajahmu yang sedang tersenyum menatap kamera. Atau menatapku, yang diam-diam mengawasimu di balik lensa kecil itu?

Sudah berjam-jam aku di tempat itu. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi aku masih tetap tinggal. Menyelesaikan potretmu, menembaknya dalam kamar gelap, berharap ada sesosok wajah yang keluar dari sebuah kertas putih. Wajahmu.

Aku ingin menyelesaikannya, dan memberikan potret itu pada seseorang yang dua hari kemudian akan berulang tahun. Aku berharap ia akan senang, saat aku mengatakan bahwa aku yang mengerjakan semua. Mengambil gambarnya, mencucinya dalam sebuah tabung, menembaknya di sebuah kamar gelap, mencetak gambar wajahnya, walau hasilnya tak sempurna. Aku cuma ingin ia tau kalau aku sudah berusaha…

Kalau cinta memang hanya sebuah kontrak, lalu apa arti malam itu? Saat aku begitu ngotot untuk melakukan semuanya sendirian. Di malam yang aku tak meminta apapun darimu, tak membuat kontrak, dan pikiranku hanya padamu saja, yang beribu jarak terpaut denganku saat itu.

Di depan sana Vino masih saja berbicara. Kau juga. Tapi aku masih berpikir, benarkah aku tak tulus? Dan pertanyaan lain yang sama besar juga ikut menghantuiku. Atau apa aku benar-benar tulus? Entahlah….

Rasanya aku menjadi terlalu jahat kalau yang kurasakan ternyata hanya untuk sebuah kontrak. Seakan semua menjadi berpusat pada aku saja, dan kau hanya pelengkap untuk menambal segala yang kurang dari aku. Dan aku akan meninggalkanmu, kalau ternyata kau tak bisa mengisi yang kurang itu. Tapi apa memang seperti itu?

Entahlah… tapi ketika memikirkanmu, seperti Chairil, aku membayangkan sedang berjalan di sebuah pantai dan bayanganmu yang tiba-tiba muncul di sampingku. Kau tersenyum. Tiba-tiba saja kita menjadi begitu sangat dekat…

Seperti kau yang berkata akan berjalan bersamaku, maka aku melihat kau menggenggam tanganku. Bukan untuk dijabat, tapi benar-benar digenggam. Bagiku itu berbicara banyak.

Dan kita kembali berjalan, menghadapi apa yang ada di depan sana. Mungkin yang akan kukatakan saat itu ialah maaf, bukan maksudku untuk membagi nasib…

Namun kau tak berbicara sepatah kata pun. Kau hanya menggeleng pelan dan tersenyum. Genggamanmu semakin erat, seolah berkata bahwa aku akan baik-baik saja. Bahwa kau masih ada di sampingku, dan belum beranjak pergi…

Karena itu aku menjadi kuat…

Kalian membicarakan tentang kepemilikan dalam cinta. Kalau aku ingin memilikimu, dan kau menganggapnya salah, mungkin ini memang sebuah dosa. Tapi yang kutau, ini cinta…

*****

14 Februari 2008,Untuk seseorang yang ingin selalu kumiliki dalam hati, agar ia tak pernah merasa terkekang…

NB: akhirnya aku tak menyerahkan foto itu. Tiba-tiba saja sebelum aku ingin memberikannya, negatif foto itu hilang. Jadi aku cuma punya foto itu satu. Mungkin Tuhan ingin aku menjaga yang satu itu. Jadi biar aku saja yang menyimpannya…

 

7 Tanggapan to “Kalau cinta memang hanya sebuah kontrak…”

  1. wadahkataku Says:

    aku tau nis,,,,kau mencintai dia karena dia istimewa dimatamu tapi lelakiku berkata, “janganlah kamu mencintaiku karena aku istimewa tetapi jadikanlah aku istimewa karena kau mencintaiku..” masih ada tuh isi smsnya di hp gw…mo gw forward???hehe

  2. bungkusterasi Says:

    Hahaha…tai lw NAS! Sejak kapan lw suka ma cowok? hahaha…

  3. bungkusterasi Says:

    gara-gara gw!
    iya gw ngaku, gw yang ngilangin klisenya
    gimana kalo lw sken aja nis…
    maaf ya, gw rasa bukan karena takdir
    lw ga ada duit ya buat sken tuh foto
    hahahaha

  4. bungkusterasi Says:

    Fatia:
    gara-gara gw!
    iya gw ngaku, gw yang ngilangin klisenya

    NIsa: Grrrrrr…..!!! BUkannya ilang sama mas Bud yah? Ah, lw…biarin aja kan ceritanya biar romantis. Kan ga lucu kalo gw tulis di blog, klisenya diilangin sama temen gw. Kan lebih keren kalo gw tulis karena takdir. Biar ga ada yang bisa nuntut. Wakakakak….

  5. kenapa yah kadang cinta itu identik dengan penderitaan?…dari mulai rasa yg tak terbalas, rasa sakit di hianati, sampai ketika cinta itu telah berlalu dari hadapan kita begitu saja

  6. cuma mau tau Nisa sekarang dimana yah? udah kehilangan kontak nie..hehehe
    Budi

  7. ini blog gak ada kabarnya lagi….

Tinggalkan komentar